Jumat, 30 November 2012

Masyarakat MultiKultural

1. PENGERTIAN MULTIKULTURAL
Multikultural secara etimologi marak digunakan pada tahun 1950 di Kanada. Konsepsi multikulturalisme diawali oleh perlawanan sebagian warga Kanada terhadap ambisi dominasi dan hegemoni kelompok anglo-saxon dan franco di pusat kekuasaan Kanada. Pandangan ini di amini juga oleh penulis buku Rethinking Multiculturalism, Bikhu Parekh (2001). Parekh mengatakan bahwa gerakan multikultural pertama kali muncul di Kanada dan Australia sekitar tahun 1970-an, kemudian menyebar di Amerika Serikat, Inggris, Jerman dan lainnya. Inti dari multikulturalisme adalah kesediaan menerima kelompok lain secara sama sebagai kesatuan, tanpa mempedulikan perbedaan budaya, etnik, jender, bahasa, ataupun agama.

Multikultural sering diidentikkan dengan pluralisme, padahal ada beberapa perbedaan diantara kedua konsep tersebut. Ada beberapa istilah lain yang konseptual tampak mirip dengan terminologi
multikulturalisme tetapi sebenarnya berbeda. Misalnya pluralisme, divertas, heterogenitas atau yang sering disebut dengan istilah "masyarakat majemuk".

Menurut Furnivall, masyarakat majemuk (plural societes) adalah suatu masyarakat yang terdiri atas dua atau lebih elemen yang hidup sendiri-sendiri tanpa ada pembauran satu sama lain didalam satu kesatuan politik.

Clifford Geertz mengatakan bahwa masyarakat majemuk merupakan masyarakat yang terbagi kedalam subsistem-subsistem yang lebih kurang berdiri sendiri dan masing-masing subsistem terikat oleh ikatan-ikatan primordial.
Pluralisme dalam masyarakat majemuk pada dasarmnya memiliki beberapa makna , yakni  1. Sebagai doktrin   2. Sebagai model   3. Keterkaitannya dengan konsep lain
1.         Sebagai doktrin ,  Pluralisme sering dimaknai bahwa dalam setiap hal , tidak ada satupun sebab bersifat tunggal . atau ganda bagi terjadinya perubahan masyarakat
2.         Sebagai model , Pluralisme memungkinkan terjadinya peran individu atau kelompok yang beragam dalam masyarakat
3.         Dalam keterkaitannya dengan konsep lain , Pluralisme merupakan suatu pandangan bahwa sebab dari sebuah peristiwa social harus dapat diuji melalui interaksi dari beragam factor dan bukan dianalisis hanya dari satu factor semata dan keberagaman factor itu adalah factor kebudayaan

Ada beberapa teori yang dapat digunakan untuk menerangkan masyarakat multikultur. Liliweri mengidentifikasikan tujuh tokoh sebagai perintis teori-teori multikultur.

1.     Sokrates
Gagasannya yang dekat dengan makna multikultur adalah tentang self-knowledge. Menurutnya , self-knowledge merupakan mahkota dari pendidikan setiap individu. Pengembangan self-knowledge hanya dapat dilakukan ketika seseorang tengah beranjak dewasa.
2.     Plato
Plato tidak menyebut secara eksplisit tentang multikultur al , tetapi prinsip-prinsip multicultural telah diperkenalkan dalam sebuah rancangan kurikulum pendidikan liberal art , yang kualitasnya sepadan dengan kurikulum ilmu atau pendekatan ekonomi maupun politik. Yang dimaksud dengan liberal art adalah semua bagi semua. Jadi semua orang memiliki kebebasan untuk mengetahui semua hal.
3.     Jean Piaget
Piaget yakin bahwa setiap perkembangan  individu tidak hanya dalam hal pengetahuan dan kemampuan, tetapi juga kemampuan untuk bersikap empati. Empati adalah persepsi individu tentang kemiripan antara self dan other. Empati harus dipahami sebagai proses untuk membuat perasaan seorang individu menjadi semakin intim dengan perasaan orang lain , yang pada saatnya menumbuhkan sebuah pengertian. Inilah arti penting dari empati yaitu mencegah prasangka atau sikap yang tidak bersahabat.

4.     Horace kalen
Kallen merupakan orang pertama yang mengkrontruksi  teori pluralisme budaya. Menurutnya jika berbagai kebudayaan yang beragam atau perbedaan yang bervariasi itu dibiarkan hidup dan berkembang dalam suatu bangsa, maka upaya kearah persatuan nasional telah dilakukan.

5.     James A.Bank
Banks dikenal sebagi perintis pendidikan multikultur. Menurutnya bagian terpenting dari pendidikan adalah mengajarkan “bagaimana cara berfikir” dan bukan mengajarkan “apa yang difikirkan”. Dengan demikian seorang siswa harus menjadi pemikir kritis dengan latar belakang pengethauan dan keterampilan ditambah dengan komitmen.

6.     Bill Martin
Dalam karya nya Multiculturalism: Consumerist or Transformation. Martin menuangkan gagasannya bahwa smua isu yang berkaitan dengan pengembangan multikulturalisme tumbuh dalam sebuah pertanyaan tenatng perbedaab cara pandang , seperti yang dilakukan oleh para filsuf dan teoritikus social.
7.     Martin J.Beck matustik
                        Matustik menyampaikan gagasannya bahwa segala bentuk perdebatan yang dilakukan oleh masyarakat barat berkaitan dengan hokum atau tatanan dari sebuah masyarakat multicultural. Dalam artikelnya Ludic Corporate and Imperialism Multiculturalism : impostoes of Democracy and Cartographers of the New Wold Order , Matustik mengatakan bahwa kebudayaan , politik dan perang ekonomi sudah muncul.

Van den Berghe ( dalam Zulyani Hidayah , 1999 ) memberikan cirri-ciri masayarakat multicultural sebagi berikut :
1.         Terjadinya segmentasi ke dalam kelomppok-kelompok yang sering kali memiliki kebudayaan atau lebih tepat sub kebudayaan yang berbeda satu sama lain.
2.         Memiliki struktur social yang berbagi-bagi kedalam lembaga-lembaga yang bersifat nonkomplemer.
3.         Kurang mengembangkan consensus diantara para anggota masyarakat tentang nilai-nilai social yang bersifat dasar
4.         Secara relative sering kali terjadi konflik diantara kelompok yang satu dengan yang lainnya
5.         Secara relative integrasi social tumbuh diatas paksaan dan saling ketergantungan didalam bidang ekonomi
6.         Adanya dominasi politik oleh suatu kelompok atas kelompok-kelompok yang lain. Masyarakat Plural adalah dasar pembentuk masyarakat multikultural. Dalam masyarakat multikultural terjadi interaksi dan dialog antar budaya.
Dalam perspektif Indonesia, konsep masyarakat multikultural bersifat inhern dalam masyarakat sejak dahulu kala.


2. Kelompok-kelompok Sosial Dalam Masyarakat Multikultur di Indonesia

Dalam masyarakat secara nyata dapat dilihat adanya kelompok-kelompok sosial. Semakin maju suatu masyarakat maka semakin beragam kelompok sosial yang ada. Kelompok sosial ini makin menambah kemajemukan maka dalam masyarakat terdapat multikulturan.
Kelompok merupakan konsep yang sangat umum dipakai dalam sosiologi dan antropologi. Sebenarnya kelompok merupakan kumpulan manusia yang memiliki syarat-syarat tertentu.

Lebih lanjut Soerjono Soekanto mengatakan bahwa kumpulan manusia baru dapat disebut sebagai kelompok social apabila memenuhi persyaratan sebagi berikut :
1. Setiap anggota sadar bahwa dirinya merupakan bagian dari kelompok yang bersangkutan
2. Terdapat hubungan timbale balik antara anggota yang satu dengan anggota yang lainnya
3. Terdapat factor bersama yang dimiliki oleh anggota-anggota kelompok tersebut , sehingga hubungan di antara mereka bertambah erat.
4. Berstruktur , berkaidah , dan mempunyai pola perilaku

Sementara , Robert Biersted memberikan tiga criteria terhadap kumpulan manusia agar bisa disebut kelompok yaitu :
1.         Ada atau tidaknya organisasi
2.         Ada atau tidaknya hubungan social di antara warga kelompok
3.         Ada atau tidaknya kesadaran jenis diantara orang-orang yang ada dalam kelompok di maksud.
Berbagai tipe kelompok social yang terdapat di dalam masyarakat multicultural dapat dikelompokkan ke dalam klasifikasi sebagai berikut :
1.         Klasifikasi berdasarkan jumlah anggota. Berdasarkan jumlah anggotanya kelompok-kelompok social dapat dibedakan menjadi kelompok kecil , dan kelompok besar.
2.         Klasifikasi berdasarkan makna kelompok bagi anggotanya berdasarkan makna kelompok bagi maisng-masing anggotanya dibedakan adanya kelompok primer dan kelompok sekunder
3.         Klasifikasi berdasarkan sikap anggota terhadap kelompoknya dan kelompok lain dapat dibedakan menjadi kelompok dalam dengan kelompok lain atau kelompok-kelompok luar
4.         Klasifikasi berdasarkan sifat ikatan antaranggota, dapat dibedakan menjadi Gemeinschaft gesellschaft Tonnies menyatakan Gemeinschaft adalah kehidupan bersama yang akrab , bersifat pribadi dan eklusif serta merupakan suatu keterkaitan yang dibawa sejak lahir.


3. Perkembangan Kelompok Sosial pada Masyarakat Multikultur di Indonesia.

Kelompok social bukanlah merupakan kelompok yang statis karena setiap kelompok social selalu mengalami perkembangan atau perubahan. Perkembangan kelompok social dapat di pengaruhi oleh factor lain dari dalam maupun luar. Jika dilihat dari sudut pandang relasi antar kelompok , maka perkembanagn kelompok social bisa disebabkan oleh bergbagai pola relasi antar kelompok.

Tiap-tiap kelompok masyarakat di Indonesia saling berhubungan satu sama lain. Masing-masing kelompok membentuk jaringan hubungan dengan kelompok-kelompok lain dalam suatu system social. Hubungan antar kelompok tersebut dapat berupa kerja sama , persaingan bahkan konflik. Hubungan yang terbentuk antar kelompok masyarakat di Indonesia tergntung pada latar belakang social-kultural dari hubungan yang mereka jalani dengan segala perkembangannya.
Beberapa kemungkinan pada relasi antar kelompok social yang terdapat dalam masyarakat multicultural bisa berupa : Genosida , segregasi , Resistensi , Diskriminasi , dan Amalgamasi

Genosida merupakan pembunuhan secara sistematis untuk menghancurkan kelompok ras , etnis atau agama tertentu. Rasisme adalah keyakinan bahwa ras tertentu lebih superior atau lebih inferior daripada ras yang lainnya , sehingga ras yang superior bisa lebih berwenang dan berlaku sewenang-wenang terhadap ras yang inferior.

Segresi adalah pemisah kelompok rasa tau etnis tertentu secara paksa. Segresi merupakan bentuk pelembagaan deskriminasi yang di terapkan dalam struktur social.

Resistensi adalah salah satu strategi yang dilakukan oleh kelompok minoritas untuk menghindarkan diri dari konfrontasi.

Kemudian diskriminasi adalah perlakuan tidak adil yang dilakukan secara sengaja terhadap orang / kelompok lain. Dan Amalgamasi merujuk pada  hasil akhir yang diperoleh jika kelompok mayoritas dan kelompok minoritas di satukan untuk membentuk kelompok baru.
Nasikun (dalam Suriakusumah, 1999:718) mengungkapkan bahwa terdapat beberapa factor yang menyebabkan terjadinya keanekaragaman suku bangsa , agama dan kelompok-kelompok social lainnya dalam masyarakat Indonesia.

Faktor-faktor tersebut diantaranya adalah :
1.         Keadaan geografis yang membagi wilayah Indonesia atas 13.667 pulau yang tersebar di suatu daerah equator sepanjang kurang lebih 3000 mil dari timur dan lebih dari 1000 mil dari utara ke selatan.
2.         Kenyataan bahwa Indonesia terletak di antara samudra Hindia dan samudra Pasifik. Kenyataan letak yang demikian ini sanagta mempengaruhi terciptanya pluralism agama di dlaam masyarakat Indonesia melalui pengaruh kebudayaan bangsa lain.
3.         Iklim yang berbeda dan struktur tanah yang tidak sama di antara berbagai daerah di kepulauan nusantara ini merupakan factor yang menciptakan pluralistis regional di Indonesia.

Adapun diferensiasi  sosial yang melingkupi struktur social dalam kemajemukan masyarakat indonesia adalah :
1.         Diferensiasi yang  disebabkan oleh perbedaan adat istiadat (custome differentiation) yang terjadi karena perbedaan etnik , budaya , agama dan bahasa
2.         Diferensiasi yang disebabkan oleh structural (structural differentiation) , hal ini disebabkan oleh kemampuan untuk mengakses ekonomi dan politik sehingga menyebabkan kesenjangan social di antara etnik yang berbeda.

Sejarah pertikaian antar etnis skala besar yang juga pernah terjadi adalah pertikaian antara etnis Madura dan etnis dayak di Kalimantan yang sampai terjadi dua kali. Ribuan jiwa melayang , hara benda ludes , puluhan ribu orang menjadi pengungsi di Negara sendiri. Bahkan pada daerah-daerah yang pernah menjadi tempat berlangsungnya program transmigrasi hamper selalu timbul friksi-friksi kecil antara warga asli dan warga pendatang. Mengacu pada uraian di atas , maka konsekuensi yang di hadapai indonesia sebagai masyarakat multikultur adalah mengenai persoalan-persoalan sebagai berikut :

1.         Etnik dan etnisitas
Pada awalnya istilah etnik hanya digunakan untuk suku-suku tertentu yang di anggap bukan asli indonesia, namun telah lama bermukim dan berbaur dalam masyarakat, serta tetap mempertahankan identitas mereka melalui cara-cara khas mereka yang dikerjakan, dan atau karena secara fisik mereka benar-benar khas. Misalnya etnik Cina,arab dan Tamil india.
Menurut bart (Mendatu , 2006) , istilah etnik menunjuk pada suatu kelompok tertentu yang karena kesamaan ras , agama , asal-usul bangsa ataupun kombinasi dari kategori tersebut terikat pada system nilai budayanya. Kelompok etnik adalah kelompok orang-orang sebagai suatu populasi yang :
a. Dalam populasi kelompok mereka mampu melestarikan kelangsungan kelompok dengan berkembang biak
b. Mempunyai nilai-nilai budaya yang sama , dan sadar akan rasa kebersamaanya dalam suatu bentuk budaya
c. Membentuk jaringan kmunikasi dan interaksi sendiri
d. Menentukan cirri kelompoknya sendiri yang diterima oleh kelompok dan dapat dibedakan dari kelompok populasi lain.

Dalam antropologi ada tiga perspektif teori yang dpaat digunakan untuk membahas mengenai etnisitas yaitu : 1. Teori Premoldial, 2.Teori Situasional  , 3. Teori Relasional

Teori situasional memandang bahwa kelompok etnis adalah  entitas yang dibangun atas dasar kesamaan para warganya, bagi mereka yang lebih penting bukan wujud kesamaan itu sendiri melainkan perihal penentuan dan pemeliharaan bats-batas etnis yang di yakini bersifat selektif dan merupakan jawaban atas kondisi sosial historis tertentu. Teori ini menekankan bahwa kesamaan kultural merupakan faktor yang lebih besar dibanding kesamaan darah dalam penggolongan orang-orang kedalam kelompok etnik.
Salah satu faktor luar yang berpengaruh terhadap etnisitas adalah kolonialisme yang demi kepentingan administratif pemerintah kolonial telah mengkotak-kotakkan warga jajahan ke dalam kelompok-kelompok etnik dan ras.
Teori Relasional mendasarkan pada pandangan bahwa kelompok etnik merupakan penggabungan dua entitas atau lebih yang memiliki persamaan maupun perbedaan yang telah dibandingkan dalam menentukan pembentukan etnik dan pemeliharaan batas-batasnya. Kesamaan-kesamaan yang ada pada dua atau lebih entitas yang disatukan akan menjadi identitas etnik.
Jadi berbicara tentang etnisitas tetap tidak kehilangan momentum . Hanya saja , pemahaman  mengenai mengenai etnisitas perlu ditambahkan. Tidak saja etnik sebagi kategori orang-orang karena  budaya dan darah , tetapi lebih penting lagi karena telah menjadi kategori identitas politis , dimana identitas etnis tetap di pertahankan karena memang bermanfaat.
Demikianlah , identitas etnis sengat penting artinya di indonesia. Umumnya orang indonesia melakukan pengolhan informasi  social orang lain berdasarkan skema kognitif berbasis asal etnik. Hal ini merupakan kewajaran karena indonesia memang di konstruksi atas sub-sub yang berupa kelompok etnik. Sementara itu di beberapa Negara yang lain , misalnya di Amrika serikat , Jerman dan Prancis, ras menjadi kategori utama .

Menurut Keefe , identitas etnis terdiri dari dua elemen yaitu :
a. Identifikasi etnik sendiri vs kelompok etnik lain melalui ponsel kognitif
b. Derajat keterikatan pada kelompok dan kebudayaannya yang merupakan elemen afektif.

Identitas etnik merupakan fenomena objektif dan subjektif (Hokoy
dalam Mandatu,2006). Fenomena objektif manakala seseorang
menegaskan identitas etniknya melalui kriteria-kriteria tertentu yang
pasti.
Identitas etnik merupakan fenomena subjektif karena terkandung
derajat perasaan kepemilikan (sense of belonging) akan kelompok
etnisnya.


2.  Ethosentris dan Primordialisme

Sebagai konsekuensi dari  identitas etnis munculnya etnosentris, menurut Matsumodo (Mendatu,2006)  , etnosentris adalah kecenderungan untuk melihat dunia hanya melalui sudut pandang budaya sendiri. Berdasarkan definisi ini etnosentris tidak selalu negative sebagaimana  umumnya dipahami. Etnosentris dalam hal tertentu juga merupakan hal positif. Etnosentris jelas bukan sesuatu yang harus  dihilangkan sama sekali. Ia patut dipelihara karena etnosentris memang fungisional. Dalam hal ini , etnosentris fleksibel lah yang harus dikembangkan. Tiga cara yang bisa kita lakukan untuk memperkuat etnosentris fleksibel menurut Matsumoto adalah:
1.         Mengetahui bagaimana cara kita memahami realitas sebagaimana yang biasa kita lakukan dalam cara tertentu. Misalnya saja kita mengerti bagaimana kita melakukan penilaian tentang kesopanan. Sebab apa yang sopan menurut budaya kita mungkin saja bukan merupakan kesopanan dalam budaya lain.
2.         Mengakui dan menghargai kenyataan bahwa orang-orang yang berasal dari latar belakang budaya yang berbeda memiliki perbedaan cara dalam memahami realitas dan bahwa versi mereka tentang sebuah realitas adalah sah dan benar bagi mereka sebagaimana versi kita sah dan benar untuk kita.
3.         Mengetahui mengenai budaya sendiri dan budaya orang lain serta pengaruhnya terhadap cara-cara memahami realitas dalam keadaan tertentu tidak cukup untuk menumbuhkan etnosentris fleksibel. Harus juga dipelajari bagaimana untuk membedakan antar emosi , penilaian terhadap moralitas dan penilaian tergadap kepribadian yang sering disamakan dengan etnosentrisme dan cara pandang budaya.
Paham yang sangat sensitif terhadap konflik selain etnosentrisme adalah sikap primordialisme. Ini artinya, akan timbul rasa bahwa suatu kelompok lebih baik dari kelompok lainnya. Pada akhirnya primordialisme dapat menimbulkan berbagai masalah yang sering tidak disadari, seperti tumbuhnya sikap prasangka atau diskriminasi terhadap kelompok lain.

       3. Prasangka Etnik

Prasangka adalah cara pandang atau perilaku seseorang terhadap orang lain secara negative. Pendapat senada juga dikemukakan oleh Myrdal , bahwa prasangka merupakan pembenaran atas perlakuan yang membeda-bedakan kelompok-kelompok ras. Definisi ini membawa pada suatu  kenyataan bahwa prasangka sangat potensial menimbulkan sebuah kesalahpahaman. Suatu prasangka berangkat dari adanya pandangan negative dengan adanya pemisahan yang tegas antara perasaan kelompok ku (in-group) dan perasaan kelompok lain (out-group).

Horton dan Hunt (1992:65) mengemukakan penyebab munculnya prasangka sebagi berikut :
Pertama,  : Sikap etnosentrisme yang cenderung membuat penilaian bahwa kelompok in group adalah yang paling baik
Kedua,  : Adanya kenyataan bahwa dalam menghadapi orang luar atau kelompok luar apalagi yang masih asing, seseorang cenderung memberikan stereotip , meskipun tidak selalu benar.
Ketiga,  : Seseorang sering menggeneralisasi terhadap suatu kelompok
Keempat,  : Seseorang cenderung menentukan stereotip tentang anggapan bagaimana seharusnya dalam hubungan antar kelompok
Kelima,  : Seseorang cenderung melakukan prasangka terhadap orang yang bersaing dengan dirinya
Berdasarkan uraian diatas maka sebuah prasangka erat kaitannya dengan stereotip. Menurut Ahmadi, stereotip dapat diartikan sebagai sebuah gambaran atau angan-angan terhadap individu atau kelompok yang terkena prasangka. Prasangka dapat terjadi akibat adanya pewarisan-pewarisan yang salah, sehingga setiap individu atau kelompok mempunyai stereotip etnik yang buruk yang kemudian mengkristal dan menjelma menjadi diskriminasi. Dalam segi hubungan antarkelompok etnik, diskriminasi merupakan cara memperlakukan seseorang berdasarkan pada klasifikasi kelompok, bukannya berdasarkan ciri-ciri individu. Diskriminasi biasanya dilakukan oleh kelompok dominan agar dapat mempertahankan hak-hak istimewanya.

4.     Kelompok  Minoritas dan Kelompok Mayoritas

Kelompok minoritas adalah orang-orang yang karena ciri-ciri fisik tubuh atau asal usul keturunannya atau kebudayaan di pisahkan dari orang-orang lainnya dan diperlakukan secara tidak sederajat atau tidak adil dalam masyarakat dimana mereka itu hidup.
Keberadaan kelompok minoritas selalu dalam kaitan dan pertentangannya dengan kelompok mayoritas , yaitu mereka yang menikmati status sosial tinggi dan sejumlah keistimewaan yang banyak, mereka ini mengembangkan seperangkat prasangka terhadap golongan minoritas yang ada dalam masyarakatnya. Prasangka ini berkembang berdasarkan pada adanya :
1.         Perasaan superioritas pada mereka yang tergolong dominan.
2.         Sebuah perasaan yang secara instriksik ada dalam keyakinan mereka bahwa golongan minoritas yang rendah derajatnya itu adalah berbeda dari mereka dan tergolong sebagai orang asing
3.         Adanya klaim pada golongan dominan bahwa sebagi akses sumber daya yang ada adalah merupakan hk mereka dan disertai adanya ketakutan bahwa mereka yang tergolong minoritas dan rendah derajatnya itu akan mengambil sumber daya sumber daya tersebut.
Dalam perspektif ini, mayoritas dan minoritas dilihat sebagai hubungan kekuatan. Bila kita melihat minoritas dalam kaitan atau pertentangannya dengan mayoritas maka yang akan dihasilkan adalah hubungan mereka yang populasinya besar (mayoritas) dan yang populasinya kecil (minoritas). Perspektif ini tidak akan dapat memahami mengapa golongan minoritas di diskriminasi. Karena besar populasinya belum tentu sebesar kekuatannya.


5.     Masalah Disintegrasi Bangsa

Menurut Mashudi Noorsalim (Semendwai, 2005 ) ada empat persoalan besar berkaitan dengan isu hak hak minoritas dalam kaitannya dengan multikulturalisme dan dilema Negara bangsa , yaitu :

a. Fakta bahwa keanekaragaman suku bangsa , ras ,agama dan golongan sosial-ekonomi , semakin diperumit oleh faktor geografi Indonesia yang kepulauan , penduduk yang tinggal terpisah-pisah satu sama lain, mendorong meningkatnya potensi disintegrasi
b. Premis antropologi bahwa nasionalisme dan Negara seyogyanya dibicarakan mulai dari akarnya , yakni mulai dari konsep-konsep “suku bangsa” , “kelompok etnik” , dan “etnisitas” , jelas menunjukkan  bahwa apabila semangat nasionalisme luntur karena berbagai sebab, maka yang tertinggal adalah semangat kesukubangsaan yang menguat. Dengan kata lain , meningkatnya semangat primoldial (antara lain kesukubangsaan) di tanah air akhir-akhir ini adalah indikasi melunturnya nasionalisme.

c. Hak-hak minoritas senantiasa melekat pada fakta pengaturan keanekaragaman yang ada. Apabila pengaturan nasional berorientasi pada kebijakan kebudayaan seragam dan sentralistis maka fakta pluralism , diferensiasi , dan hierarki masyarakat dan kebudayaan akan meningkat. Dalam kondisi ini hak-hak minoritas akan terabaikan karena tertutup oleh kebijakan Negara yang terkonsentrasi pada kekuasaan sentralistis. Namun , apabila pengaturan tersebut adalah demokratis dan/atau multikulturalisme , maka hak-hak minoritas akan semakin dihargai. Yang perlu diperhatikan adalah upaya membangun bangsa yang multicultural itu berhadapan dengan tantangan berat, yaitu fakta keanekaragaman yang luas dalam konteks geografi , populasi , suku bangsa , agama dan lainnya.

d. Perekat integrasi nasional yang selama ini terjadi seperti  politik penyeragaman nasional dan konsentrasi kekuasaan yang besar sesungguhnya adalah hal yang lumrah dalm politik pemeliharaan Negara bangsa.


4. Keanekaragaman Kelompok Sosial Dalam Masyarakat Multikultural di Indonesia

Menurut  Max Weber , dalam masyarakat multikultural terdapat beberapa macam kelompok sosial yang berbeda antara kelompok yang satu dengan kelompok yang lainnya, walaupun mereka termasuk dalam suatu masyarakat yang sama. Berbagai tipe kelompok sosial dalam masyarakat multikultural tersebut dapat diklasifikasikan berdasarkan beberapa kriteria sebagai berikut :

a. Klasifikasi berdasarkan jumlah anggota. Berdasarkan jumlah anggotanya kelompok-kelompok social dapat dibedakan menjadi kelompok kecil dan kelompok besar
b. Klasifikasi berdasarkan makna kelompok bagi anggotanya , maka kelompok social dapat dibedakan menjadi kelompok  primer dan kelompok sekunder
c. Klasifikasi berdasarkan sikap anggota terhadap kelompoknya dan kelompok lain , maka kelompok social dibedakan menjadi kelompok dalam dan kelompok luar
d. Klasifikasi berdasarkan sifat ikatan antar anggota

Aneka ragam kebudayaan masing-masing suku bangsa di indonesia , berdasarkan ekosistemnya oleh Clifford Geertz (dalm Zulyani Hidayah ) , dikelompokkan kedalam tiga tipe sebagi berikut :

a.     Kebudayaan yang berkembang di “indonesia dalam”(Jawa , Bali)
Kebudayaan yang berkembang di Indonesia dalam ditandai oleh tingginya intensitas pengolahan tanah secara teratur dan telah menggunakan system pengairan dan menghasilkan pangan padi yang ditanam di sawah. Dengan demikian kebudayaan di Jaw yang menggunakan tenaga kerja manusia dalam jumlah besar disertai peralatan yang relative lebih konflek itu merupakan perwujudan upaya manusia secara lebih berani mengubah ekosistemnya untuk kepentingan masyarakat yang bersangkutan.

b.     Kebudayaan yang berkembang di “Indonesia Luar”
Kebudayaan di luar JAwa kecuali disekitar danau Toba , dataran tinggi Sumbar , dan Sulawesi Barat Daya , berkembang atas dasar pertanian perladangan yang ditandai dengan jarangnya penduduk yang pada umunya baru beranjak dari kebiasaan hidup berburu kearah hidup bertani. Oleh karena itu , mereka cenderung untuk menyelesaikan diri mereka dengan ekosistem yang ada , demi untuk meningkatkan kesejahtraan masyarakat yang bersangkutan , kebudayaan pantai yang diwarnai kebudayaan alam , dan kebudayaan masyarakat peladang serta pemburu yang masih sering berpindah tempat.

c.      Aneka ragam kebudayaan yang tidak termasuk kedalam kebudayaan “Indonesia Dalam “ maupun “Indonesia Luar”
Kategori ini meliputi kebudayaan orang Toraja di Sulawesi selatan , orang Dayak di pedalaman Kalimantan , orang Halmahera , suku-suku di pedalaman Seram di Nusa Tenggara , orang GAyo di Aceh , orang Rejang di Bengkulu dan Lampung di Sumatera Selatan. Pada umunya kebudayaan mereka berkembang diatas system pencaharian perladanagn atau penanam padi diladang , sagu , jagung maupun akar-akaran.

Jika ditinjau berdasarkan daerahnya , keanekaragaman budaya masyarakat indonesia oleh Koentjaraningrat dibagi kedalam beberapa tipe budaya sebagai berikut :

a. Tipe budaya masyarakat berdasarkan system berkebun yang sangat sederhana , dengan keladi dan ubi jalar sebagai tanaman pokoknya dlaam kombinasi dengan berburu dan meramu. Penanaman padi tidak di biasakan , sisitem dasar kemasyarakatannya berupa desa terpencil tanpa diferensiasi dan stratifikasi yang berarti : gelombang pengaruh kebudayaan menanam padi , kebudayaan perunggu , kebudayaan Hindu agama Islam tidak di alami. Isolasi tersebut akhirnya dibuka oleh Zending atau Missie.

b. Tipe  budaya masyarakat pedesaan berdasarkan bercocok tanam diladang atau di sawah dengan padi sebagai tanaman pokok. System dasar kemasyarakatan berupa komunitas petani dengan diferensiasi dan stratifikasi social yang sedang dan yang merasa bagian-bagian bawah dari suatu kebudayaan yang lebih besar dengan suatu bagian atas yang dianggap lebih halus dan beradab didalam masyarakat kota.

c. Tipe budaya masyarakat pedesaan berdasarkan sistem bercocok tanam di sawah dengan padi sebagai tanaman pokoknya. Sistem dasar kemasyarakatan berupa komunitas petani dengan diferensiasi dan stratifikasi sosial yang agak sempit. Masyarakat kota yang menjadikan arah orientasinya mewujudkan suatu bekas kerajaan pertanian bercampur dengan peradaban kepegawaian yang dibawa oleh system pemerintah kolonial.

d. Tipe budaya masyarakat kota yang mempunyai ciri-ciri pusat pemerintahan dengan sektor perdagangan dan industri yang lemah . Contoh, budaya local dengan tipe masyarakat perkotaan terdapat pada kota-kota kabupaten dan provinsi-provinsi di Indonesia

e. Tipe budaya masyarakat metropolitan yang mulai mengembangkan suatu sektor perdagangan dan industri yang agak berarti tetapi masih didominasi oleh  aktivitas kehidupan pemerintahan, dengan suatu sektor kepegawaian yang luas dan dengan kesibukan politik di tingkat daerah maupun nasional.

Berikut ini adalah kehidupan berbangsa suku bangsa yang menggambarkan kebudayaan suku bangsa yang bersangkutan:

a.     Suku bangsa aceh
Suku bangsa aceh merupakan hasil pembauran beberapa bangsa pendatang dengan beberapa suku bangsa asli di Sumatera, yaitu dari Arab , India , Persia , Turki , Melayu dan lain-lain.
Bentuk kelompok kekerabatan yang utama dalam masyarakat Aceh adalah keluarga inti , karena umumnya anggota rumah tangga terdiri dari ayah , ibu , dan anak-anaknya saja. Prinsip garis keturunannya adalah Bilineal. Kerabat dari pihak ayah disebut wali sedangkan kerabat dari pihak ibu disebut karong.

b.     Suku bangsa Baduy
Orang baduy dianggap juga sebagai bagian  dari suku bangsa Sunda karena sebagian besar unsure  budaya dan bahsanya sama dengan kebudayaan Sunda. Masyarakat Baduy terbagi kedalam dua kelompok yaitu kelompok Baduy Dalam yang disebut juga Urang Kejeroan, dan kelompok Baduy Luar yang disebut juga Urang Kaluarang atau Urang Penamping.
Pemimpin masyaarakat Badui secara adat dan spiritual adlaah seorang seorang pu’un yang berkedudukan diwilayah kajeroan yang sering pula disebut tangtu atau Baduy Dalam. Orang Baduy nampaknya juga mempunyai pelapisan social , yaitu :
a.  Pertama  adalah kelompok pu’un dan kerabatnya
b.  Kedua kelompok pembantu pu’un seperti baeresan , tangkesan ,    jaro tangtu , jaro dangka dan palawari
c.  Ketiga kelompok pemimpin formal seperti lurah , dan para pmbantunya , jaro pareman dan dukun.
d.  Yang terakhir orang Baduy Dangka


c.  Suku bangsa Sikka
Suku bangsa Sikka berdiam di daerah antara Lio dan Larantuka, Kabupaten Sikka , daratan Pulau Flores , provinsi NTT. Namun Sikka kemungkinan berasal dari kerajaan Sikka yang pernah berdiri. Mereka menyebut dirinya dengan Ata-Sikka. Bahasa mereka sanagt dekat dengan bahasa penduduk di pulau Solor, yaitu bersama-sama kelas bahasa Ambon-Timor dari kelompok Bahasa Papua.


Secara umum ada tiga pendekatan dalam mengelola keragaman budaya dan etnik di dunia :

a. Pertama , model yang mengedepankan nasionalitas , jus soli dan civic concept of citizenship. Nasionalitas adalah sosok baru yang di bangun bersama tanpa memperhatikan aneka ragam suku , bangsa , agama , bahasa dan nasionalitas bekerja sebagai perekat integrasi.

b. Kedua , model nasionalitas etnik yang mengacu pada prinsip ius sanguinis, kebalikan dari ius soli. Nasionalitas etnik berlandaskan pada kesadaran kolektif etnik yang kuat yang landasannya adalah hubungan darah dan kekerabatan dengan para pendiri bangsa.

c. Ketiga , model multicultural-etnik yang mengakui eksistensi dan hak-hak warga etnik secara kolektif. Dalam model ini keanekaragaman menjadi realitas yang harus diakui dan diakomodasi Negara dan identitas dan asal usul warga Negara diperhatikan isu-isu yang muncul karena penerapan kebijakan ini tidak hanya keanekaragaman kolektif dan etnik tetapi juga isu mayoritas minoritas , dominan persoalannya menjadi lebih komplek bagi karena ternyata mayoritas tidak selalu berarti dominan.

Selanjutnya didalam upaya mengembangkan masyarakat multikultur  United Nations for Education Science and Cultural Organization(UNESCO) menawarkan 6 program pengembangan yang terdiri dari :

a.   Mencegah terjadinya diskriminasi
b. Melakukan riset kebijakan mengenai pengelolaan masyarakat yang multibudaya dan multi etnik
c.   Melakukan  pertemuan , pertukaran dan sirkulasi informasi sehingga tidak terjadi miskomunikasi
d.   Menumbuhkan kesadaran  masyarakat tentang pentingnya  pengembangan masyarakat multikultur dengan cara :
1. Melakukan pendidikan mengenai hak-hak azazi manusia dan mendorong saling pemahaman antar budaya
2.  Memperkuat kapasitas masyarakat local , sehingga mampu mandiri dan sejajar dengan yang lainnya.


5. Peranan Pendidikan Multicultural dalam Menjaga Integritas Bangsa.

a.     Pengertian Pendidikan Multicultural
Multicultural adalah sebuah realitas social dan merupakan fitra manusia yang apabila dikelola secar benar akan melahirkan energy dan sebaliknya, jika ditangani secara keliru akan menimbulkan bencana yang dahsyat. Dengan mencermati berbagai permasalahan dan kondisi masyarakat indonesia sebagaimana yang sudah dijelaskan , maka hal-hal yang menjadi kendala dalam penyelesaian masalah kultikultural di Indonesia , antara lain adalah :

a. Rendahnya tingkat pengetahuan , pengalaman , dan jangkuan komunikasi sebagian masyarakat yang dapat mengakibatkan rendahnya daya tangkal terhadap budaya asing yang negative dan keterbatasan dalam menyerap serta mengembangkan nilai-nilai yang positif sekaligus mudah sekali terprovokasi dengan isu-isu yang di anggap mengancam eksistensinya.

b. Kurang maksimalnya media komunikasi dalam memerankan fungsinya sebagai mediator dan korektor informasi

c. Paradigma pendidikan yang lebih menekankan pengembangan intelektual dengan mengabaikan pengenmbangan kecerdasan emosional , pembentuklan sikap moral , dan penanaman nilai budaya.

d. Meningkatnya gejala”societal crisis on caring” karena tingginya mobilitas social dan transformasi cultural yang ditangkap dan diadopsi secara terbatas.


Sejalan dengan berbagai kendala yang dihadapi , maka upaya penyelesaian masalah yang muncul dalam interaksi antar budaya dapat di atasi dengan jalan :

Pertama : membangun kehidupan multicultural yang sehat dengan meningkatkan toleransi dan apresiasi antar budaya melalui peningkatan pengetahuan masyarakat tentang kebhinekaan budaya , dengan mengenalkan berbagai cirri khas budaya tertentu.

Kedua : peningkatan peran media komunikasi untuk melakukan sensor secara substantive yang berperan sebagai korektor terhadap penyimpangan norma social yang dominan, dengan melancarkan tekanan korektif terhadap subsistem yang mungkin keluar dari keseimbangan fungsional.

Ketiga : strategi pendidikan berbasis budaya dapat menjadi pilihan karena pendidikan berbasis adat tidak akan melepaskan diri dari prinsip bahwa manusia adalah factor utama sehingga manusia harus selalu merupakan subjek sekaligus tujuan dalam setiap langkah dan upaya perubahan.

Beberapa hal yang dibidik dalam pendidikan multicultural adalah :

Pertama : pendidikan multicultural menolak pandanagn yang menyamakan pendidikan dengan persekolahan atau pendidikan multicultural dengan program-program sekolah formal. Pandangan yang lebih luas mengenai pendidikan sebagai transisi kebudayaan juga bermaksud membebaskan pendidik dari asumsi bahwa tanggung jawab dalam mengembangkan kompetensi kebudayan tidak semata-mata di tanag mereka melainkan tanggung jawab semua pihak

Kedua : pendidikan ini juga menolak pandangan yang menyamakan kebudayaan dengan kelompok etnik. Hal ini karena seringnya para pendidik , secara tradisional mengasosiakan kebudayaan hanya dengan kelompok-kelompok sosial yang relative self-sufficient. Oleh karena individu-individu memiliki berbagai tingkat kompetensi dalam berbagai dialek atau bangsa , dan berbagai pemahaman mengenai situasi-situasi dimana setiap pemahaman sesuai , maka individu-individu memiliki berbagai tingkat kompetensi dalam sejumlah kebudayaan.

Ketiga : pendidikan multicultural meningkatkan kompetensi dalam beberapa kebudayaa. Kebudayan mana yang akan diadopsi seseorang pada sewaktu-waktu ditentukan oleh situasinya. Meski jelasberkaitan , harus dibedakan secara konseptual antara identitas-ientitas yang disandang individu dan identitas social primer dalam kelompok etnik tertentu.

Keempat : kemungkinan bahwa pendidikan meningkatkan kesadaran menegnai kompetensi dalam beberapa kebudayaan akan menjauhkan kita dari konsep dwibudaya atau dikotomi antara pribumi dan non pribumi.


Carl A Grant dan Cristine E.Sleeter(2003) menjelaskan bahwa terdapat lima tipologi pendidikan multicultural yang berkembang :

a. Mengajar mengenai kelopok siswa yang memiliki budaya yang lain. Perubahan ini terutama pada siswa dalam transisi dari berbagai kelompok kebudayaan ke dalam mainstream budaya yang ada.

b. Hubungan manusia. Program ini membantu siswa dari kelompok-kelompok tetrtentu sehingga ia dapat mengikuti bersam-sama yang lain kedalam kehidupan social

c. Single group studies. Program ini mengajarkan hal-hal yang memajukan pluralism, tetapi tidak menekankan kepada adanay perbedaan stratifikasi social yang ada dalam masyarakat

d. Pendidikan multicultural. Program ini merupakan sustua reformasi pendidikan di sekoalh-sekolah dengan menyediakan kurikulum serta materi-materi pelajaran yang menekankan kepada adanya perbedaan siswa dalam bahasa, yang keseluruhannya untuk memajukan pluralism kebudayaan dan equalitas social

e. Pendidikan multicultural yang sifatnya rekontruksi social. Program ini bertujuan untuk menyatukan perbedaan cultural dan menetang ketimpangan-ketimpangan social dalam masyarakat.


b.     Tujuan Pendidikan Multukultural

Pendidikan multikultural berusaha menolong siswa mengembankan rasa hormat kepada orang berbeda budaya , memberi kesempatan untuk bekerja bersama dengan orang atau kelompok orang yang berbeda etnis atau rasnya secara langsung , menolong siswa mengembangkan kebanggaan terhadap warisan budaya mereka, menyadarkan siswa bahwa konflik nilai sering menjadi penyebab konflik antar kelompok masyarakat.

Sementara itu Banks (dalam skeel , 1995 ) mengidentifikasi tujuan pendidikan multicultural sebagai berikut :
1. Untuk memfungsikan peranan sekolah dalam memandang keberadaan siswa yang beraneka ragam
2. Untuk membantu siswa dalam membangun perlakuan yang positif terhadap perbedaan cultural , ras , etnik , kelompok keagamaan.
3. Memberikan ketahanan siswa dengan cara mengajarkan mereka dalam mengambil keputusan  dan keterampilan sosialnya
4. Untuk membnatu peserta didik dalam membangun ketergantungan lintas budaya dan member gambaran positif kepada mereka mengenai perbedaan kelompok


Secara konseptual , pendidikan multikultural  menurut Groski mempunyai tujuan dan prinsip sebagai berikut :

a.Setiap siswa mempunyai kesempatan  untuk mengembangkan prestasi mereka

b.Siswa belajar bagaimana belajar dan berpikir secara kritis

c.Mendorong siswa untuk mengambil peran aktif dalam pendidikan , dengan menghadirkan pengalaman-pengalaman mereka dalam konteks belajar

d.Mengakomodasi semua gaya belajar siswa

e.Mengapresiasi kontribusi dari kelompok-kelompok yang berbeda

f.Mengembangkan siakp positif terhadap kelompok-kelompok yang mempunyai latar belakang berbeda

g.Untuk menjadi warga yang baik di sekolah maupun di masyarakat


Lebih lanjut Groski memberikan rincian tentang prinsip-prinsip pendidikan multicultural sebagi berikut :

a.Pemilihan materi pelajaran harus terbuka secara budaya didasarkan pada siswa. Keterbukaan ini harus menyatukan opini-opini yang berlawanan dan interprestasi-interprestasi yang berbeda

b.Isi materi pelajaran yang dipilih harus mendukung perbedaan dan persamaan dalam lintas kelompok

c.Materi pelajaran yang dipilih harus sesuai dengan konteks waktu dan tempat.

d. Pengajaran semua pelajaran harus menggambarkan dan dibangun berdasarkan pengalaman dan pengetahuan yang dibawa siswa ke kelas.

e. Pendidikan hendaknya memuat model belajar mengajar yang interaktif agar supaya mudah dimengerti.

Multikultural bukan hanya sebuah wacana  tetapi sebuah ideologi yang harus diperjuangkan karena dibutuhkan sebagai landasan bagi tegaknya demokrasi, HAM dan kesejahteraan hidup masyarakatnya. Multikulturalisme bukan sebuah ideologi yang berdiri sendiri terpisah dari ideologi-ideologi lainnya dan multikulturalisme seperangkat konsep-konsep yang merupakan bangunan konsep untuk dijadikan acuan bagi yang memahaminya dan mengembang luaskannya dalam kehidupan bermasyarakat.


c. Dimensi-Dimensi Pendidikan Multikultural
James A. Banks (1993, 1994-a), mengidentifikasi ada lima dimensi pendidikan multikultural yang diperkirakan dapat membantu guru dalam mengimplementasikan beberapa program yang mampu merespon terhadap perbedaan pelajar (siswa), yaitu:


a.Dimensi integrasi isi/materi (content integration).
Dimensi ini digunakan oleh guru untuk memberikan keterangan dengan ‘poin kunci’ pembelajaran dengan merefleksi materi yang berbeda-beda. Secara khusus, para guru menggabungkan kandungan materi pembelajaran ke dalam kurikulum dengan beberapa cara pandang yang beragam. Salah satu pendekatan umum adalah mengakui kontribusinya, yaitu guru-guru bekerja ke dalam kurikulum mereka dengan membatasi fakta tentang semangat kepahlawanan dari berbagai kelompok. Di samping itu, rancangan pembelajaran dan unit pembelajarannya tidak dirubah. Dengan beberapa pendekatan, guru menambah beberapa unit atau topik secara khusus yang berkaitan dengan materi multikultural.

b.Dimensi konstruksi pengetahuan (knowledge construction).
Suatu dimensi dimana para guru membantu siswa untuk memahami beberapa perspektif dan merumuskan kesimpulan yang dipengaruhi oleh disiplin pengetahuan yang mereka miliki. Dimensi ini juga berhubungan dengan pemahaman para pelajar terhadap perubahan pengetahuan yang ada pada diri mereka sendiri;

c.Dimensi pengurangan prasangka (prejudice reduction).
Guru melakukan banyak usaha untuk membantu siswa dalam mengembangkan perilaku positif tentang perbedaan kelompok. Sebagai contoh, ketika anak-anak masuk sekolah dengan perilaku negatif dan memiliki kesalahpahaman terhadap ras atau etnik yang berbeda dan kelompok etnik lainnya, pendidikan dapat membantu siswa mengembangkan perilaku intergroup yang lebih positif, penyediaan kondisi yang mapan dan pasti. Dua kondisi yang dimaksud adalah bahan pembelajaran yang memiliki citra yang positif tentang perbedaan kelompok dan menggunakan bahan pembelajaran tersebut secara konsisten dan terus-menerus. Penelitian menunjukkan bahwa para pelajar yang datang ke sekolah dengan banyak stereotipe, cenderung berperilaku negatif dan banyak melakukan kesalahpahaman terhadap kelompok etnik dan ras dari luar kelompoknya. Penelitian juga menunjukkan bahwa penggunaan teksbook multikultural atau bahan pengajaran lain dan strategi pembelajaran yang kooperatif dapat membantu para pelajar untuk mengembangkan perilaku dan persepsi terhadap ras yang lebih positif. Jenis strategi dan bahan dapat menghasilkan pilihan para pelajar untuk lebih bersahabat dengan ras luar, etnik dan kelompok budaya lain.

d.Dimensi pendidikan yang sama/adil atau kesetaraan dalam pendidikan (equitable pedagogy).
Dimensi ini memperhatikan cara-cara dalam mengubah fasilitas pembelajaran sehingga mempermudah pencapaian hasil belajar pada sejumlah siswa dari berbagai kelompok. Strategi dan aktivitas belajar yang dapat digunakan sebagai upaya memperlakukan pendidikan secara adil, antara lain dengan bentuk kerjasama (cooperatve learning), dan bukan dengan cara-cara yang kompetitif (competition learning). Dimensi ini juga menyangkut pendidikan yang dirancang untuk membentuk lingkungan sekolah, menjadi banyak jenis kelompok, termasuk kelompok etnik, wanita, dan para pelajar dengan kebutuhan khusus yang akan memberikan pengalaman pendidikan persamaan hak dan persamaan memperoleh kesempatan belajar.

e.Dimensi pemberdayaan budaya sekolah dan struktur sosial (empowering school culture and social structure).
Dimensi ini penting dalam memperdayakan budaya siswa yang dibawa ke sekolah yang berasal dari kelompok yang berbeda. Di samping itu, dapat digunakan untuk menyusun struktur sosial (sekolah) yang memanfaatkan potensi budaya siswa yang beranekaragam sebagai karakteristik struktur sekolah setempat, misalnya berkaitan dengan praktik kelompok, iklim sosial, latihan-latihan, partisipasi ekstra kurikuler dan penghargaan staff dalam merespon berbagai perbedaan yang ada di sekolah.


d. Tahap-Tahap Pengembangan Pendidikan Multikultural

Gay mengemukakan empat tahap pengembangan pendidikan multikultural (dalam Walsh & Agatucci, 2001), yaitu :

1. Inclusion. Pada tahap ini kelompok etnis dipelajari secara tunggal, dan biasanya pelajaran berpusat pada tokoh pahlawan dari etnis yang bersangkutan.

2. Infusion. Pada tahap kedua ini pendidikan multi kultural ditekankan pada pengintegrasian isi, konteks, contoh, dan pandangan yang berbeda ke dalam kurikulum.

3. Deconstruction, dimana pendidikan multikultural memberi kesempatan siswa untuk memandang konsep dari perspektif yang berbeda-beda sebagai bagian dari proses berpikir kritis dalam keanekaragaman budaya.

4. Transformation, yakni fokus pendidikan multikultural terletak pada proses memikirkan dan mengimajinasikan penjelasan-penjelasan baru tentang situasi sosial yang secara kultural berbeda-beda.

Materi pembelajaran multikultural dengan pendekatan multiple perspectives, hendaknya diorganisasi dengan menggunakan beberapa pendekatan, yaitu pendekatan kontribusi (contribution approach), pendekatan additive (additive approach), pendekatan transformasi (trasaformation approach) dan pendekatan tindatan sosial (social action approach) (Banks, 1989).

0 komentar:

Posting Komentar

Agus Setiawan © 2008 Template by:
SkinCorner